BAB II TELAAH KEPUSTAKAAN. A. Keluarga

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TELAAH KEPUSTAKAAN. A. Keluarga"

Transkripsi

1 BAB II TELAAH KEPUSTAKAAN A. Keluarga Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Keluarga terdiri dari seorang kepala keluarga dan beberapa anggota. Chaplin (2006) mengemukakan bahwa keluarga merupakan suatu kelompok individu yang terkait oleh ikatan perkawinan atau darah yang secara khusus mencakup ayah, ibu, dan anak. Hal senada juga dikemukakan oleh Murdock (dalam Lestari, 2012) yang mendefinisikan keluarga sebagai kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal bersama, terdapat kerja sama ekonomi, dan terjadi proses reproduksi. Lebih lanjut, pengertian mengenai keluarga tersebut tidak hanya terbatas mengenai status ikatan yang terjadi namun juga berorientasi pada tujuan yang hendak dicapai oleh tiap-tiap anggota. Lain halnya dengan Kertamuda (2009) yang mendefinisikan keluarga sebagai hubungan atau interaksi antara dua orang atau lebih yang mempunyai ikatan darah, ikatan karena pernikahan,kekerabatan yang didalamnya terdapat suatu sistem yang saling mengikat satu sama lain seperti adanya aturan-aturan, perbedaan budaya, dan perbedaan peran setiap anggota. Definisi keluarga yang dikemukakan oleh Kertamuda tidak hanya sebatas pada proses terjadinya keluarga itu saja, namun juga kepada adanya perbedaan peran yang dilakukan oleh tiap-tiap anggota keluarga itu sendiri. Duval dan Logan (dalam Friedman, 1998) mengemukakan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan

2 perkembangan fisik, mental emosional serta sosial dari tiap anggota. Selain memiliki tujuan, keluarga juga memiliki fungsi yang kerap dilakukan guna tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya (Gerungan, 1996). Keluarga merupakan tempat yang penting bagi perkembangan anak secara fisik, emosi, spiritual dan sosial. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan sumber kasih sayang, perlindungan, dan identitas bagi para anggotanya. Keluarga menjalankan fungsi yang penting bagi keberlangsungan masyarakat dari generasi ke generasi. Adapun fungsi-fungsi dasar keluarga berdasarkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan anggota keluarga dan masyarakat lebih luas menurut Friedman (1998), yakni: a. Keluarga berfungsi sebagai variabel intervensi kritis atau sebagai perantara yang menanggung semua harapan dan kewajiban masyarakat serta membentuk dan mengubahnya hingga taraf tertentu sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan anggota keluarga. b. Memenuhi kebutuhan setiap individu yang berada di dalam keluarga tersebut serta kebutuhan masyarakat dimana keluarga menjadi bagiannya. Selain fungsi keluarga yang telah dikemukakan oleh Friedman, sebenarnya masih ada beberapa fungsi keluarga, misalnya saja yang dikemukakan oleh Berns. Berns (dalam Lestari, 2012) mengemukakan bahwa ada lima fungsi dasar dari suatu keluarga, yakni :

3 a. Reproduksi Fungsi reproduksi dari keluarga yakni keluarga memiliki tugas untuk mempertahankan populasi yang ada di dalam masyarakat. b. Sosialisasi/ edukasi Fungsi sosialisasi dari keluarga yakni keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai, keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan teknik dari generasi sebelumnya ke generasi yang lebih muda. c. Penugasan peran sosial Fungsi ini berkaitan dengan keluarga memberikan identitas pada para anggotanya seperti ras, etnik, religi, sosial ekonomi dan peran gender. d. Dukungan ekonomi Fungsi ini berkaitan dengan keluarga menyediakan tempat berlindung, makanan, serta jaminan kehidupan bagi para anggotanya. e. Dukungan emosi/ pemeliharaan Fungsi dukungan emosi dari keluarga berkaitan dengan keluarga memberikan pengalaman interaksi sosial yang pertama bagi anak. Interaksi yang terjadi bersifat mendalam, mengasuh, dan berdaya tahan sehingga memberikan rasa aman pada anak. Benokratis (dalam Kertamuda, 2009) mengemukakan bahwa ada lima fungsi dari keluarga, yakni : a. Mengatur aktivitas seksual Setiap masyarakat memiliki norma atau aturan dalam hubungan seksual. Terdapat banyak hubungan seksual yang melanggar norma dan hukum yang

4 berlaku di masyarakat tertentu, misalnya saja hubungan yang terjadi antara saudara sedarah atau yang biasa disebut dengan incest. Keluarga berfungsi untuk mencegah terjadi hubungan atau aktivitas seksual seperti itu. b. Sebagai tempat bersosialisasi atau bermasyarakat Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk dapat belajar bersosialisasi. Anak menyerap banyak hal dari keluarga. Misalnya saja sikap, keyakinan, serta nilai-nilai dalam keluarga. Selain itu, anak juga belajar berkomunikasi serta berinteraksi yang kelak dapat bermanfaat dalam kehidupannya di masa yang akan datang. c. Sebagai jaminan keamanan secara ekonomi Keluarga sangat berperan dalam hal pemenuhan kebutuhan baik kebutuhan akan keamanan dan stabilitas finansial seperti makanan, perlindungan, pakaian dan sumber materi bagi kelangsungan hidupnya. d. Pemberi dukungan emosional Keluarga adalah kelompok utama yang penting karena keluarga memberikan dukungan, cinta, dan kebutuhan emosional yang membuat anggota keluarga terpenuhi kebutuhannya sehingga dapat membuat mereka merasa bahagia, sehat dan aman. e. Tempat status sosial Kelas sosial dapat dikategorikan sama dengan tingkat dalam kemasyarakatan yang terkait dengan kekayaan, pendidikan, kekuatan, prestise, dan sumber nilai. Kelas sosial dapat memengaruhi kehidupan keluarga.

5 1. Definisi Keluarga Beda Agama B. Keluarga Beda Agama Keluarga merupakan sebuah hubungan yang terikat suatu ikatan perkawinan yang terjadi di dalamnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya dua macam keluarga yang di timbulkan akibat adanya perkawinan tersebut. Perkawinan yang terjadi antara suami dan istri yang memiliki keyakinan atau menganut agama yang sama akan menghasilkan sebuah keluarga yang monoreligi atau keluarga seagama. Sedangkan perkawinan yang terjadi antara suami dan istri yang memiliki keyakinan atau menganut agama yang berbeda akan menghasilkan sebuah keluarga yang multireligi atau keluarga beda agama. Pada penelitian ini akan digunakan istilah keluarga beda agama. Keluarga beda agama (interfaith family) merupakan sekelompok orang yang terkait melalui hubungan (pernikahan, adopsi, ataupun kelahiran) yang saling berbagi satu sama lain serta para anggota keluarganya memiliki kepercayaan atau menganut agama yang berbeda (Alden, 2010). Keluarga beda agama memiliki setidaknya dua agama yang berbeda dalam lingkup keluarganya, misalnya saja suami beragama Islam sedangkan istrinya beragama Kristen sehingga terdapat adanya lebih dari satu ajaran agama di dalam keluarga tersebut. 2. Permasalahan dalam Keluarga Beda Agama Keluarga beda agama memiliki fungsi dan tujuan yang sama dengan keluarga seagama pada umumnya, misalnya fungsi keluarga dalam memberikan perlindungan ataupun pembentukan kepribadian dan karakter

6 yang baik bagi para tiap-tiap anggota keluarga. Perbedaan yang tampak jelas dari keluarga beda agama yakni hanya status dari pasangan suami istri yang memiliki agama yang berlainan satu sama lain. Kehidupan dalam keluarga tidak selalu berjalan dengan mulus. Masalah akan selalu timbul selama kehidupan berjalan. Keluarga beda agama memiliki permasalahan yang cukup kompleks bila dibandingkan dengan keluarga yang seagama. Bagi pasangan yang berbeda agama banyak hal yang harus mereka pahami terutama dalam hal keyakinan dari pasangan hidupnya. Hal tersebut mengakibatkan faktor pemicu konflik dalam keluarga beda agama bertambah satu yakni adanya perbedaan keyakinan di dalam keluarga tersebut yang pada nantinya akan mengakibatkan konflik tersendiri yang berbeda dengan konflik yang biasa terjadi dalam keluarga seagama pada umumnya. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Curtis dan Elison (dalam Kertamuda, 2009) yang menyatakan bahwa kemungkinan peran dari perbedaan keyakinan dapat menjadi pemicu konflik dalam pernikahan serta mengurangi kualitas hubungan dalam pernikahan. Konflik yang terjadi dapat dipicu oleh adanya ketidakpahaman, ketidaktahuan, ataupun ketidaksetujuan dengan apa yang dilakukan oleh pasangannya. Selain itu, salah satu permasalahan dalam keluarga beda agama yakni adanya konflik perasaan (batin) dalam diri anak (Yosepinata, 2012). Lebih lanjut, perbedaan agama yang dianut oleh kedua orangtua mengakibatkan anak merasa kebingungan untuk memilih ajaran agama yang akan diikuti.

7 Anak tersebut juga akan merasa sungkan dengan orangtua yang berlainan agama. Tentunya hal ini akan menjadikan konflik tersendiri bagi individu yang tinggal dalam keluarga beda agama mengingat kondisi mereka yang hidup secara bersama-sama dalam satu atap. Selain itu, kualitas hubungan dengan keluarga yang buruk seringkali menjadi permasalahan yang terjadi dalam keluarga beda agama (Viemilawaty, 2002). Hal ini dikarenakan kurangnya persetujuan dari pihak keluarga besar mengenai perkawinan yang dilangsungkan yang terjadi sejak awal perkawinan bahkan hingga lahirnya anak sebagai hasil dari sikap keluarga besar tersebut. Permasalahan dalam keluarga beda agama tersebut juga terjadi dalam penelitian yang dilakukan oleh Dollahite, Marks, dan Goodman (dalam Kertamuda, 2009) bahwa secara umum terdapat banyak data atau informasi yang mengindikasikan bahwa terdapat hubungan ekspresi terhadap keyakinan dan ketidakinginnan termasuk otoriter serta penyalahgunaan terhadap toleransi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati (dalam Viemilawati, 2002), konflik yang terjadi pada keluarga beda agama terbagi menjadi dua, yakni konflik sebelum adanya pernikahan serta konflik yang terjadi setelah adanya pernikahan. Konflik yang terjadi sebelum adanya pernikahan biasanya berupa sulitnya mendapatkan ijin dari kedua orangtua untuk melangsungkan perkawinan beda agama, sedangkan konflik yang terjadi setelah adanya pernikahan biasanya berupa konflik batin dalam diri karena rasa bersalah dan menyesal telah melaksanakan pernikahan yang dilarang oleh ajaran agama, seringnya mendapat komentar negatif dari orang

8 lain terkait status pernikahan beda agama, serta adanya masalah dalam hal pemilihan agama pada anak yang pada nantinya akan mendatangkan konflik beragama dalam diri anak tersebut. Monib dan Nurcholish (2008) mengemukakan bahwa akan ada suatu kondisi atau keadaan dalam keluarga pasangan nikah beda agama yang nantinya akan mengakibatkan problem atau atau permasalahan dalam keluarga itu sendiri. Adapun beberapa problem yang sering muncul dalam keluarga pasangan nikah beda agama yakni : 1. Split of Personality pada anak Kepribadian setiap anak sebagian adalah bawaan dari sejak lahir, dan sebagian lagi adalah hasil bentukan melalui pembelajaran. Salah satu faktornya adalah pendidikan keluarga dan pembentukan yang dilakukan oleh orangtua sejak lahir hingga masa dewasa. Pada keluarga beda agama, pembentukan kepribadian anak lebih kompleks. Hal ini dikarenakan oleh anak yang berasal dari keluarga beda agama tersebut setidaknya mengalami pembentukan dua arah yang tidak sinkron dan tarik-menarik karena berlawanan, misalnya saja ayah yang beragama Islam dan Ibu yang beragama Kristen, secara sadar ataupun tidak sadar ayah akan berusaha membentuk anak dengan konsep wawasan, etika dan nilai yang berlandaskan ajaran Islam, sedangkan ibu juga akan membentuk dan mengarahkan anak pada konsep yang berlandaskan ajaran agama Kristen. Hal ini memungkinkan terjadinya kebingungan pada anak dalam menangkap dua konsep keyakinan yang berlawanan yang ia terima dari

9 ayah dan ibu. Anak tersebut akan mengalami problem kejiwaan, khususnya jiwa keagamaan, kebingungan akidah, dan tidak mengenal syariat dengan benar bahkan beresiko tidak beragama. Adanya dua model tuntutan teologi dan ibadah dua agama yang dihadapkan pada mereka menyebabkan anak tersebut mengalami ketegangan dan tarik-menarik keyakinan dan akidah yang mengantarkan mereka pada konflik iman dan agama. 2. Subyektifitas keagamaan Pasangan menikah beda agama dalam kehidupan rumah tangganya akan mengalami subjektifitas-subjektifitas yang sangat alami dan wajar dimiliki oleh penganut agama. Subjektifitas yang berlebihan dan cenderung saling mengunggulkan keyakinan yang dianut, tentu saja akan dapat membawa dampak problem dalam keluarga beda agama yang jika dibiarkan akan membawa permasalahan dalam keluarga. 3. Kerinduan kesamaan akidah Dalam kehidupan pernikahan beda agama, adakalanya merindukan pasangan yang seiman dan seakidah dalam satu keluarga. Hal ini sangat wajar karena prinsipnya agama dan keyakinan mengarahkan kepada ketenangan dan kedamaian. Pasangan keluarga beda agama akan dihadapkan pada perasaan rindu untuk seagama dan seakidah. 4. Persepsi negatif masyarakat Keluarga beda agama tidak terlepas dari adanya penilaian, kecaman, kritik, dan penolakan yang diterima dari masyarakat. Hal ini dikarenakan

10 oleh sebagian besar masyarakat yang masih menolak dari adanya pernikahan beda agama, sehingga dibutuhkan mental yang kuat untuk menghadapi persepsi yang dilontarkan oleh masyarakat tersebut. C. Konflik Dalam setiap hubungan antara individu akan selalu muncul konflik, tidak terkecuali dalam hubungan keluarga. Konflik seringkali dipandang sebagai perselisihan yang bersifat permusuhan dan membuat hubungan tidak berfungsi dengan baik. Secara bahasa (etimologis) konflik berasal dari bahasa Latin con yang berarti bersama dan fligere yang berarti benturan atau tabrakan. Alwi (2005) mengemukakan bahwa konflik merupakan percekcokan, perselisihan dan pertengkaran. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih yang salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Definisi konflik yang dikemukakan tersebut terlihat bahwa konflik mencerminkan adanya suatu ketidakcocokan, baik ketidakcocokan karena berlawanan maupun karena adanya suatu perbedaan. Dalam perspektif perkembangan, konflik mendorong adanya proses kematangan seorang individu sekaligus merupakan hasil dari proses kematangan tersebut. Konflik dalam teori perkembangan manusia digunakan baik dalam hal proses intrapersonal maupun interpersonal. Lewin (dalam Shaw & Conztanzo, 1982) menjelaskan konflik sebagai suatu keadaan yang memiliki daya-daya bertentangan arah dan dalam keadaan kekuatan yang hampir sama. Hal tersebut menyebabkan individu merasa bimbang untuk mengambil keputusan dari permasalahan yang ada. Definisi mengenai

11 konflik juga dikemukakan oleh Cornelius (dalam Lacey, 2003) yang mengatakan bahwa konflik adalah dua jajaran kebutuhan atau lebih yang menarik dari araharah yang berlainan. Wahyudi (2008) mengemukakan bahwa terdapat lima jenis konflik berdasarkan subjeknya, yaitu: 1. Konflik Intrapersonal Konflik intrapersonal merupakan konflik individu dengan dirinya sendiri. Konflik intrapersonal terjadi jika pada waktu yang sama, seseorang dihadapkan pada dua buah keinginan yang berbeda dan tidak dapat dipenuhi secara bersamaan. Konflik intrapersonal ini terbagi menjadi tiga, yakni approach-approach conflict, avoidance-avoidance conflict, approachavoidance conflict. 2. Konflik Interpersonal Konflik interpersonal terjadi bila terdapat pertentangan antar individu yang satu dengan individu yang lain karena adanya perbedaan keinginan atau pendapat. Ketidakcocokan tersebut terungkap ketika seseorang secara terbuka menentang tindakan atau pernyataan yang dilakukan oleh orang lain. Konflik dalam hubungan antar pribadi ini merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan, bahkan semakin tinggi saling ketergantungannya semakin meningkat pula kemungkinan untuk terjadinya konflik. 3. Konflik antar individu-individu dan kelompok-kelompok Konflik ini terjadi saat individu mengalami tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas yang ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja,

12 misalnya saja seseorang dihukum oleh kelompok kerjanya karena tidak mencapai norma produktivitas kelompok. 4. Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama Konflik ini biasa terjadi antar pekerja yang satu dengan pekerja lain dalam suatu perusahaan. 5. Konflik antar organisasi Konflik ini biasa terjadi antar organisasi yang satu dengan organisasi yang lainnya, misalnya saja persaingan di antara para produsen rokok. Pada dasarnya, konflik akan selalu muncul. Hal ini dikarenakan oleh adanya perbedaan-perbedaan di antara individu yang satu dengan individu yang lain (Lacey, 2003). Dalam perspektif Freud (dalam Lestari, 2012) konflik terjadi karena adanya ketidakcocokan antara hasrat individu dan tuntutan masyarakat serta aturan sehingga menimbulkan kecemasan dan pertahanan diri terhadap kecemasan. Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa konflik terjadi akibat adanya pertentangan antara apa yang seharusnya terjadi dengan apa yang terjadi. Dari situ dapat dilihat bahwa konflik terjadi akibat adanya kesenjangan antara hal yang kita inginkan dengan realitas yang terjadi di masyarakat. Erikson (dalam Lestari, 2012) mengemukakan bahwa konflik terjadi dalam tiga level. Level pertama terjadi ketika kepribadian seseorang berhadapan dengan tuntutan yang dikemukakan oleh orangtua atau masyarakat. Level kedua terjadi jika konflik tersebut terjadi di dalam diri individu, misalnya saja perasaan ragu. Level ketiga adalah konflik yang terjadi dalam menentukan cara beradaptasi.

13 Konflik tidak hanya terjadi antar individu yang satu dengan individu yang lainnya saja, namun juga dapat terjadi di dalam diri seorang individu. Konflik yang seperti itu dinamakan konflik intrapersonal. Konflik diri atau konflik intrapersonal adalah pergulatan emosi yang terjadi dalam diri seseorang karena dituntut menyelesaikan suatu pekerjaan atau memenuhi suatu harapan sementara pengalaman, minat, tujuan, dan tata nilainya tidak sanggup memenuhi tuntutan sehingga hal tersebut menjadi beban baginya (Pickering, 2001). Hal senada juga dikemukakan oleh Gunarsa (1976) yang mengemukakan bahwa konflik diri merupakan pertarungan antara keinginan-keinginan yang menyebabkan timbulnya kebimbangan dalam memutuskan keinginan manakah yang akan dipenuhi. Definisi mengenai konflik intrapersonal turut dikemukakan oleh Wirawan (2010) yang mengatakan bahwa konflik intrapersonal merupakan konflik yang terjadi dalam diri seorang individu karena harus memilih dari sejumlah alternatif pilihan yang ada atau karena mempunyai kepribadian ganda. Konflik intrapersonal biasanya terjadi akibat adanya pertentangan dari id,ego, dan superego. Konflik intrapersonal biasanya berupa perasaan bersalah, atau ragu-ragu dalam bertindak, misalnya saja seorang individu merasa ragu untuk membuat keputusan diantara dua pilihan. Hal seperti ini biasa terjadi jika seorang individu dihadapkan pada dua buah pilihan yang sama-sama memiliki keuntungan maupun kerugian yang hampir sebanding. Berdasarkan teori konflik yang dikemukakan oleh Wahyudi (2008), konflik intrapersonal terdiri atas tiga yakni approach-approach conflict, avoidanceavoidance conflict, approach-avoidance conflict. Approach-approach conflict

14 atau konflik mendekat-mendekat terjadi apabila seorang individu dihadapkan pada dua buah keinginan atau tujuan yang sama nilainya serta sama-sama memberikan kesenangan sehingga sulit untuk memilih salah satu di antara keduanya. Approach avoidance conflict atau konflik angguk-geleng terjadi apabila seorang individu dihadapkan pada dua buah keinginan atau pilihan berbeda yang satu memiliki tujuan atau efek yang positif, sedangkan yang lainnya memiliki tujuan atau efek negatif. Sedangkan avoidance-avoidance conflict atau konflik geleng-geleng terjadi apabila seorang individu dihadapkan pada dua buah keinginan atau pilihan yang keduanya mempunyai nilai yang tidak menyenangkan. Adapun penjelasan mengenai jenis-jenis konflik intrapersonal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Gunarsa, 1976). Tujuan Individu Tujuan Nama konflik (+) (+) Approach-approach conflict (-) (-) Avoidance-avoidance conflict (+) (-) Approach-avoidance conflict Gambar 1. Pertarungan Motif- Konflik Dalam Diri Keberadaan dari suatu konflik tidak otomatis berdampak negatif terhadap hubungan maupun individu yang terlibat dalam hubungan tersebut. Konflik baru akan memiliki dampak negatif apabila tidak dikelola dengan baik. Konflik dalam keluarga yang tidak terkelola dengan efektif akan menjadi gejala atau faktor yang menyumbangkan dampak negatif bagi para individu maupun keluarga secara keseluruhan.

15 Berkaitan dengan konflik yang dialami oleh seorang individu, setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi dan menyelesaikan suatu konflik. Hal tersebut dikenal dengan istilah manajemen konflik. Robbins (1996) mengemukakan bahwa manajemen konflik merupakan penggunaan teknik pemecahan dan perangsangan untuk mencapai tingkat konflik yang diinginkan. Pada manajemen konflik, seorang individu berusaha mengelola konflik yang dihadapi agar tidak berkembang dan meluas menjadi konflik yang lebih besar. Strategi pengelolaan konflik seringkali digunakan oleh individu untuk mengelola konflik yang dialaminya agar tetap berada dalam level optimal. Thomas (dalam Riggio & Parter, 1990) mengemukakan bahwa terdapat lima jenis strategi penyelesaian konflik yang dilakukan oleh individu, yaitu competition, accomodation, compromise, collaboration, dan avoidance. 1. Strategi competition, merupakan strategi yang lebih menekankan pada kepentingan pribadi dibandingkan dengan kepentingan individu lain. Pada strategi competition, individu berusaha mencapai tujuan tanpa memperhatikan dampaknya pada individu yang lain sehingga individu akan tetap berada dalam situasi konflik hingga mencapai tujuan yang diinginkan. 2. Strategi acomodation, yakni individu yang menggunakan strategi accomodation akan melakukan suatu pengorbanan demi terselesaikannya suatu konflik. 3. Strategi compromise, yakni merupakan salah satu bentuk situasi tawar menawar. Masing-masing pihak yang terlibat konflik bersedia untuk

16 melepaskan sebagian kepentingannya sehingga masing-masing pihak tidak mendapatkan kepentingannya secara utuh. 4. Strategi collaboration, yakni individu yang terlibat konflik saling bekerjasama untuk mencapai tujuan atau mencari pemecahan yang saling menguntungkan. 5. Strategi Avoidance, yakni menekan konflik atau melarikan diri dari situasi konflik. Ketika strategi avoidance dilakukan untuk menyelesaikan konflik, konflik yang terjadi masih tetap ada dan akan mempengaruhi hubungan diantara pihak-pihak yang terlibat konflik. D. Konflik Beragama pada Anak yang Berasal dari Keluarga Beda Agama Perkembangan keagamaan seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor internal (dirinya sendiri) dan faktor eksternal (lingkungan dan pengalamannya) sehingga proses internalisasi nilai-nilai keagamaan ini akan membentuk sebuah dinamika keberagamaan seseorang. Dalam hal ini keluarga merupakan faktor yang penting dalam hal proses internalisasi keagamaan pada diri seseorang karena salah satu fungsi keluarga yakni menanamkan nilai-nilai moral dan keagamaan pada tiaptiap anggota keluarganya. Pada keluarga beda agama, konflik beragama dalam diri anak di dalamnya sangatlah mungkin terjadi. Hal ini dikarenakan terdapatnya lebih dari satu agama yang menjadi landasan dalam keluarga tersebut, serta adanya lebih dari satu ajaran agama yang diajarkan kepadanya. Pernyataan ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hikmatunisa dan Takwin (2007) yang menyatakan bahwa 10,8% dari subjek penelitian tergolong dalam kategori informed rejection atau mengetahui namun kurang meyakini ajaran

17 agamanya. Pada kategori informed rejection tersebut keseluruhan berasal dari anak keluarga beda agama. Hal ini mungkin disebabkan oleh sosialisasi pengetahuan agama dari kedua orangtua baik namun anak kurang bisa meyakini karena anak memiliki referensi pengetahuan pembanding (agama lain) atau merasa sungkan terhadap orangtua yang berlainan agama dengan dirinya (Viemilawati, 2002). Keadaan tersebut biasa terjadi jika anak telah menginjak usia remaja atau usia dewasa mengingat pola pikir mereka yang semakin kritis dan berkembang. Jika pada kepemilikan agama telah terjadi pada masa anak-anak, maka pada masa remaja dan dewasa akan terjadi pergumulan agama atau konflik beragama pada diri anak tersebut. Konflik ini terkait dengan perkembangan rasionalitas yang dialami oleh individu remaja dan dewasa sehingga muncul pertentangan dalam diri individu tersebut tentang keyakinan (agama) yang dianutnya. Pertentangan ini disebabkan oleh terbenturnya nilai-nilai agama pada perkembangan rasionalitas manusia selain terdapatnya berbagai macam pilihan agama di dunia. Perbedaan agama dari kedua orangtua pun turut berpengaruh terhadap konflik beragama yang terjadi dalam diri individu remaja dan dewasa tersebut. Kebimbangan yang terjadi dalam diri remaja dan dewasa itu berpeluang menimbulkan konflik internal yang memunculkan pergumulan dalam diri individu tersebut terkait dengan pertanyaan mana yang baik dan mana yang buruk serta mana yang benar dan mana yang salah. Berdasarkan teori konflik yang dikemukakan oleh Wahyudi (2008), dapat dijelaskan bahwa konflik beragama pada anak yang berasal dari keluarga beda agama termasuk ke dalam konflik intrapersonal (konflik dalam diri) dan

18 konflik interpersonal. Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai kedua konflik tersebut adalah sebagai berikut : 1. Konflik intrapersonal Konflik intrapersonal merupakan konflik individu dengan dirinya sendiri. Pada anak yang berasal dari keluarga beda agama, konflik intrapersonal terjadi karena anak memiliki dua buah keinginan berbeda yang tidak dapat dipenuhi secara bersamaan. Anak yang berasal dari keluarga beda agama memiliki keinginan untuk melaksanakan perintah agama dan menuruti keinginan orangtua, namun adanya perbedaan agama yang ditanamkan oleh kedua orangtua sejak kecil membuat anak merasa bimbang. Konflik intrapersonal yang terjadi dalam diri anak yang berasal dari keluarga beda agama erat kaitannya dengan religious doubt (keraguan beragama). Religious doubt merupakan keraguan rasa agama yang biasanya Tuhanlah yang menjadi pusat keraguannya. Adanya dua buah ajaran agama yang ditanamkan oleh kedua orangtua semenjak kecil membuat anak yang berasal dari keluarga beda agama meragukan kebenaran dari ajaran agama yang telah ditanamkan tersebut. Anak menjadi memiliki agama pembanding sehingga cenderung mencari nilai positif dan negatif dari kedua ajaran agama tersebut. Hal ini dapat menjadikan anak merasa bingung di kemudian hari sewaktu memilih agama yang akan dianut. Keraguan ini biasa terjadi pada masa remaja dan berlanjut hingga ke masa dewasa. Religious doubt yang terjadi terus menerus dan tidak menemukan jawaban akan menimbulkan masalah, salah satunya adalah

19 hilangnya keyakinan. Ada beberapa faktor penyebab terjadinya religious doubt, di antaranya yakni : a. Kemampuan kognisi remaja yang sudah dapat digunakan untuk berfikir secara abstrak dan maknawi. b. Religious storage (gudang keagamaan) yang terbawa dari masa kanakkanak yang bersifat konkret, dogmatik, sederhana, ritual, maupun verbal. c. Dogmatic teaching pada masa remaja. d. Religious teaching dengan kekerasan. e. Memiliki teman atau keluarga yang berbeda agama. f. Mempertentangkan antara ilmu dan agama. g. Adanya organisasi agama atau pemuka agama yang berbeda pendapat dan saling bertentangan. h. Kondisi jiwa masing-masing individu Terjadinya keragu-raguan (religious doubt) tersebut akan menjurus ke arah munculnya konflik dalam diri remaja, sehingga mereka dihadapkan kepada pemilihan antara mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Jalaludin (2009) mengemukakan bahwa konflik yang terjadi ada beberapa macam, di antaranya : a. Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu. b. Konflik yang terjadi antara pemilihan satu di antara dua macam agama atau ide keagamaan serta lembaga keagamaan. c. Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau sekularisme.

20 d. Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan atas petunjuk Ilahi. Konflik kejiwaan yang terjadi pada diri seseorang mengenai keagamaan mempengaruhi sikap keberagamaannya. Konflik dan keraguan dalam beragama ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama seperti taat, fanatik maupun agnotis hingga atheis. Jika seseorang individu tidak dapat keluar dari religious doubt yang dialaminya pada masa remaja dan dewasa, atau terjadi religious doubt yang berkelanjutan, maka kemungkinan yang akan terjadi adalah : a. Skeptis terhadap bentuk-bentuk keagamaan. Individu akan bersikap kritis terhadap segala macam bentuk keagamaan yang ada serta mempertanyakan segala hal mengenai bentuk keagamaan tersebut seperti manfaat dari kegiatan atau bentuk keagamaan itu sendiri. b. Meninggalkan tugas-tugas keagamaan. Individu akan meninggalkan tugas keagamaan dari agama yang dianutnya karena merasa adanya ketidakcocokan ataupun keraguan dalam hal melaksanakan tugas keagamaan tersebut. Individu tersebut memilih untuk meningalkan tugas-tugas keagamaan yang menjadi kewajibannya. c. Konfrontasi antara pengetahuan dan agama dengan cara mengagungkan ilmu barat dan membenci ilmu agama. Individu tersebut akan berusaha membandingkan antara pengetahuan yang ada dengan ajaran agama. Hal ini kerap terjadi pada individu yang mengagungkan ilmu pengetahuan dari Barat yang biasanya

21 mengesampingkan keeksistensian Tuhan itu sendiri. Dampak dari hal ini yakni individu menjadi membenci ilmu agama yang telah dianutnya bahkan semua ilmu agama yang ada. d. Terjadinya religious conversion (pindah agama) Hasil akhir dari relious doubt yang berkepanjangan yakni individu tersebut memutuskan untuk melakukan konversi agama (pindah agama) dari agama yang diyakininya menjadi agama baru yang akan diyakininya. Menurut Thouless (2000) konversi agama adalah istilah yang pada umumnya diberikan untuk proses yang menjurus kepada penerimaan suatu agama. Proses penerimaan agama tersebut dapat terjadi secara berangsur-angsur ataupun secara tiba-tiba. 2. Konflik interpersonal Selain konflik intrapersonal, konflik beragama yang terjadi pada anak yang berasal dari keluarga beda agama ini merupakan sebuah konflik interpersonal yang terjadi akibat adanya perbedaan pendapat atau kepentingan dengan orang lain, dalam hal ini orangtua dari anak tersebut. Adanya dominasi dari salah satu orangtua mengenai suatu ajaran agama, membuat anak tersebut merasa sungkan atau bahkan takut untuk mengambil keputusan mengenai agama yang akan dianut. Jika dijelaskan lebih lanjut, konflik ini berupa adanya perasaan bahwa di satu sisi, anak tersebut ingin melaksanakan sebuah perintah agama secara menyeluruh, namun di sisi lain anak tersebut merasa sungkan atau bahkan takut pada orangtua yang berlainan agama dengannya. Adapun dampak yang terjadi dari konflik beragama yang tidak terselesaikan yakni anak

22 menjadi skeptis terhadap ajaran agama, meninggalkan tugas-tugas keagamaan hingga melakukan konversi agama. E. Lokasi Penelitian Peneliti memilih Surakarta sebagai lokasi penelitian karena kota Surakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang berdasarkan observasi peneliti, angka perkawinan beda agama yang terjadi cukup tinggi sehingga memiliki cukup banyak keluarga beda agama. Selain itu, domisili peneliti yang berada di Surakarta mempermudah diadakannya penelitian mengenai konflik beragama pada anak dari keluarga beda agama. F. Pertanyaan Penelitian Berbagai kondisi yang ada pada keluarga beda agama saat ini sangat menarik untuk diteliti. Kondisi tersebut antara lain adanya pikiran negatif yang muncul di masyarakat bahwa individu yang berasal dari keluarga beda agama cenderung tidak taat dalam beragama, adanya hubungan yang buruk dengan keluarga besar akibat tidak adanya persetujuan saat melangsungkan perkawinan, serta konflik beragama yang terjadi di dalam diri anak yang berasal dari keluarga beda agama (Viemilawaty, 2002) Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti berkeinginan untuk mengetahui tentang Bagaimanakah gambaran dari konflik beragama yang terjadi pada anak dari keluarga beda agama?

23 Fungsi H. Keluarga I. Menanamkan nilai moral J. Keluarga K. Beda Agama G. Kerangka Pemikiran Pendidikan Moral Dan Keagamaan Kebebasan Memilih Agama Agama yang dianut oleh ayah Agama yang dianut oleh ibu Latar Belakang Terjadinya Konflik Anak L. Yang Berasal Dari Keluarga Beda Agama M. Lingkungan Masyarakat Beragama Konflik Beragama Jenis konflik Waktu terjadinya konflik Hal yang dirasakan saat mengalami konflik Dampak dari konflik Resolusi Konflik Beragama Gambar 2. Kerangka Berpikir

24 Secara singkat, dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa anak yang berasal dari keluarga beda agama, selain mendapatkan penanaman nilai dan moral keagamaan yang terdiri dari dua buah ajaran agama yang berbeda, anak tersebut juga mendapatkan kebebasan untuk memilih agama dari kedua orangtua sebagai konsekuensi dari dua buah ajaran agama yang diajarkan kepadanya. Anak yang berasal dari keluarga beda agama juga akan melakukan interaksi dengan masyarakat yang pada nantinya akan memperluas nilai-nilai dan norma-norma yang telah melekat di dalam dirinya. Adanya penanaman nilai moral dan keagamaan yang berbeda dari kedua orangtua, kebebasan memilih agama, serta interaksi dengan masyarakat inilah yang membuat anak tersebut mengkonfrontasikan nilai-nilai yang telah diterima dari kedua orangtua dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat sehingga pada nantinya akan melatarbelakangi terjadinya konflik beragama dalam diri anak. Konflik beragama yang terjadi dalam diri anak tersebut juga tidak lepas dari perasaan yang dialami oleh anak saat mengalami konflik, hal-hal yang terjadi dalam diri anak saat terjadinya konflik, dampak-dampak yang ditimbulkan dari adanya konflik beragama, serta respon yang diperoleh dari orang terdekat saat mengalami konflik beragama tersebut. Berkaitan dengan konflik yang dialami oleh seorang individu, setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi dan menyelesaikan suatu konflik, begitu pula dengan konflik beragama yang dialami oleh anak yang berasal dari keluarga beda agama. Anak tersebut akan melakukan upaya untuk menyelesaikan konflik beragama yang tengah dialami untuk meminimalisir dampak yang

25 ditimbulkan dari adanya konflik beragama yang dialami. Cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik inilah yang disebut dengan resolusi konflik.